1. “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, itulah yang menguasai hati dan pikiran saudara, di dalam Kristus Yesus Tuhan kita.” Amin.
2. Firman Tuhan bagi kita pada Minggu Septuagesima hari ini, tertulis dalam 1 Korintus 8: 1-13.
3. Kita sedang berada dalam ruang dan waktu yang istimewa, baik sebagai pribadi atau komunitas Kristen yang sedang dalam peziarahan iman. Saya secara pribadi sangat bersyukur berada dalam ruang dan waktu yang dimaksudkan. Saya bersyukur berada di tengah-tengah para hamba Tuhan dan pengikut Kristus yang datang dari berbagai sudut negeri dan belahan dunia ini.
4. Saya bersyukur berada bersama jemaat GKPM Mandiri Pniel dan panitia penyelenggaraan Sidang MPL-PGI yang sangat terhormat yang sedang berlangsung di Pulau Mentawai yang sangat indah ini. Satu Kawasan dan kepulauan yang sudah sejak lama menggetarkan hati – baik karena berita tentang keindahannya dan kebaikan warganya, kekayaan budaya dan tradisinya. Menggetarkan hati, juga karena gempa bumi, bencana alam di tahun-tahun yang lalu dan berbagai khabar berita tentang pergumulan dan kondisi kehidupan yang dialami oleh saudara-saudara di kawasan ini.
5. Benar. Saya sungguh bersyukur mengalami keramahan, senyuman dan kebaikan masyarakat di tempat ini, yang benar-benar menampilkan diri sebagai “hosts” – tuan dan nyonya rumah terbaik untuk event nasional se-kaliber Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Saya pikir, setiap peserta sangat terkesan dan menikmati semua yang ditampilkan dan dilayankan warga gereja, warga masyarakat, pemimpin di gereja dan pemimpin di masyarakat selama Sidang MPL ini.
6. Saya juga sangat bersyukur berada dalam waktu yang istimewa, satu waktu bersejarah dan menentukan arah peziarahan iman bersama kita sebagai gereja-gereja di Indonesia yang bertekad dan berkomitmen untuk meneruskan pergumulan rangkap gereja-gereja di Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam konsultasi teologi tahun 1970 di Pematangsiantar dan kemarin disegar-ingatkan oleh Ketua Umum PGI bapak Pdt. Gomar Gultom, yakni bergumul menghayati kebenaran Firman Tuhan dan mewujudkan Missio Dei, dan pada waktu yang sama bergumul dengan realitas masyarakat dan bagaimana kita berperan dalam pembangunannya.
7. Sejarah akan mencatat. Generasi yang lebih muda akan mengingat. Para pandu yang menjadi bagian integral dari Sidang selama satu minggu ini akan menyimpan dalam benak dan alam bawah sadar mereka. Anak-anak, remaja dan pemuda, anggota gereja dan warga masyarakat di kepulauan Mentawai ini dan wilayah yang lebih luas akan melihat dan membicarakan apa yang kita lakukan di tempat ini pada perhelatan Sidang MPL ini.
8. Kita membicarakan tentang hal-hal yang fundamental dan krusial yang menentukan arah peziarahan iman bersama kita – yang terpanggil untuk bersaksi, bermisi dan melakukan transformasi dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai komunitas peziarah iman yang menggantungkan diri pada kasih karunia dan pertolongan Tuhan Allah yang adalah yang awal dan yang akhir, gereja-gereja di Indonesia ditantang untuk menampilkan warna tersendiri. Yakni, warna yang mencerahkan. Warna yang membaharui. Warna yang mentransformasikan. Itulah spiritualitas keugaharian: membangun kehidupan yang demokratis dan berkeadilan, serta politik yang bermoral dan beretika.
9. Kegagalan menampilkan warna yang dimaksudkan akan menjadikan komunitas kita bagai pelita yang diletakkan di bawah gantang atau garam yang sudah menjadi tawar, yang tidak ada lagi artinya selain dibuang dan diinjak orang. Itu akan menjadi realitas pahit dan tragis, seperti ungkapan terhadap jemaat di Laodikia dalam Kitab Wahyu, “karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau.” Kita tidak inginkan itu terjadi dan itu tidak akan terjadi, karena kita adalah umat pilihan Tuhan. Karena itu, Firman Tuhan hari ini mengingatkan kita supaya:
10. Jangan menjadi bantu sandungan! Jangan melakukan ini dan jangan berbuat itu! Satu ungkapan imperative dari seorang bapa rohani kepada umat yang dikasihinya. Satu nasihat penting dari gembala kepada domba-domba gembalaannya agar mereka tidak tersesat. Paulus berbicara bukan di ruang hampa, melainkan dalam “Sitz im Leben” – situasi kehidupan dalam konteks dan situasi spesifik masyarakat Kristen yang benar-benar sulit. Mereka ditantang untuk membuat pilihan di tengah situasi dan kondisi yang kompleks. Pertanyaan utama adalah: “Bolehkah memakan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala?” Ini adalah pertanyaan etis. Pertanyaan etika: Ber-etika-kah memakan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala?
11. Persoalan etika. Satu ungkapan dan isu yang dalam beberapa bulan terakhir ini, yang dalam beberapa minggu terakhir ini dan yang dalam hari-hari ini memasuki dan merasuki pikiran dan relung hati masyarakat Indonesia secara nasional. Itu menjadi bagian percakapan di kede-kede kopi, di tempat belanja, di berbagai komunitas, di gereja, dalam debat capres-cawapres, kampanye politik dan perbincangan warganet di medsos, serta para pakar dan akademisi di kampus dan televisi.
12. Pertanyaan etika dalam konteks orang Kristen di Korintus adalah, bolehkan makan daging itu? Bukan, dapatkah? Kalau soal dapatkah, Paulus memberikan jawaban yang jelas. Dia memberikan jawaban teologis yang lugas. Memakan daging yang dipersembahkan itu tidak masalah. Karena sesungguhnya “allah dan tuhan” yang menjadi objek atau penerima persembahan daging itu, bagi orang-orang beriman dan yang memiliki pengetahuan yang benar, sesungguhnya tuhan dan allah dimaksud tidak ada. Itu tidak memiliki kekuatan atau kuasa atau apa-apa. “Tidak ada Tuhan selain Allah yang Satu itu.” Karena itu, daging yang dipersembahkan itu tidak membuatnya berbeda dari daging biasa. Itulah bagi orang yang memiliki pengetahuan, seperti Paulus sendiri dan sebagian orang percaya di Korintus.
13. Namun, sebahagian lagi orang percaya di Korintus tidak memiliki pengetahuan itu. Mereka merasa atau benar-benar yakin bahwa memakan daging yang dipersembahkan kepada berhala membuat orang yang memakannya tercemar, najis dan tidak pantas. Mereka bukan hanya tidak beretika, tetapi secara intrinsik kotor di dalam dirinya dan tidak pantas disebut sebagai orang Kristen. Orang-orang yang terganggu dengan perilaku orang-orang Kristen yang memakan daging dimaksud, adalah juga Kristen, yang baginya Kristus telah mati. Kristus telah menebus mereka juga. Paulus melabeli mereka sebagai orang-orang yang memiliki hati urani yang lemah. Namun bagi Paulus, sebagaimana bagi Kristus, ‘mereka juga sangat berharga.’
14. Karena itu, pendirian Paulus sangat jelas, “jangan menjadi batu sandungan bagi orang yang lemah atau bagi siapa pun.” “Jika makanan itu menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku tidak akan memakannya selama-lamanya.” Satu hikmat yang dipenuhi kasih, rahmat dan kasih karunia. Satu sikap yang sangat generous. Penuh kemurahan hati. Satu pendekatan yang hospitable – yang memberikan ruang dan kehidupan bagi orang lain. Satu sikap mengalah demi kemenangan bersama. Berkorban demi kepentingan umum. Ini adalah sikap mulia dan terpuji.
15. Satu sikap yang sangat kontras dari apa yang dipertontonkan oleh banyak elit politik dalam kontestasi pesta Demokrasi di tengah-tengah bangsa kita. Dimana sikap saling sikut, menjatuhkan dan merendahkan dipertontonkan dalam gelanggang terbuka. Menganggap diri lebih baik dan lebih utama dari yang lain. Ini akan menjadi pembelajaran yang buruk bagi generasi milenial dan menjadi catatan buruk dalam proses demokratisasi.
16. Karena itu, dalam pergumulan gereja-gereja di Indonesia selama Sidang MPL-PGI di Mentawai dengan penekanan pada “keugaharian,” sebagaimana diungkapkan Romo Setyo Wibowo. Mengajak setiap orang untuk mampu menahan diri. Melatih diri untuk menguasai diri sendiri dan mengatakan “enough is enough.” Untuk mampu memikirkan kepentingan orang lain juga. Orang lain juga butuh makan, minum, hidup, dihormati dan dihargai. Keugaharian yang memahami bahwa sumber daya bumi ini terbatas. Menunjukkan cinta kasih dan kepedulian kepada sesama, sebagaimana Paulus ungkapkan bahwa kasih itu membangun, lebih dari sekedar pengetahuan yang terkadang ‘menjadikan seseorang sombong.’
17. Saudaraku, di tengah kondisi masyarakat, bangsa dan negara kita yang “sedang tidak baik-baik saja,” kita terpanggil untuk menampilkan sesuatu yang memberikan harapan, tuntunan dan transformasi. Sikap ugahari. Mensyukuri apa yang kita miliki dan menggunakannya menjadi berkat bagi sesama. Setiap orang memiliki sesuatu. Bukan soal banyaknya atau besarnya. Namun itu sangat berharga, jika kita gunakan dengan kasih – menjadi berkat bagi orang lain!
18. Sikap ugahari juga kita tunjukkan dengan peduli akan yang lain. Kita menghormati orang lain sebagaimana adanya. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebagaimana Paulus menasehati jemaat di Korintus, supaya mereka jangan menjadi batu sandungan, melainkan menjadi berkat, garam dan terang. Demikianlah hendaknya, umat Kristen di Indonesia tetap tampil dengan warna ugahari – membawa sukacita, kesejukan dan damai sejahtera bagi banyak orang – fulness of life for all – kepenuhan hidup bagi semua! Dear friends, I wish you a happy and blessed sunday!
Oleh: Pdt. Dr. Deonal Sinaga (Ka.Dept. Koinonia HKBP)
Discussion about this post